Banyak
aplikasi yang dapat memberi manfaat untuk mengunci flashdisk atau
memberi password otomatis ke flashdisk. Tetapi beda lagi dengan
postingan kali ini . sebelumnya cara ini saya dapatkan dari seorang
programmer yang hebat http://inside-and.blogspot.com
Trik dan Tips Komputer, Internet, Pengetahuan Umum, Pengetahuan Agama, dll....
14 Mei 2013
1 Mei 2013
Sejarah Berdirinya PERSIS
Sejarah Berdirinya Persatuan Islam (PERSIS)
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuan Islam.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Sumber : persis.or.id
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuan Islam.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Sumber : persis.or.id
Label:
Ilmu Islam
Sejarah Berdirinya NU
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan
peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama
(NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim
Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis
buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Sumber
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Sumber
Label:
Ilmu Islam
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak
paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan
tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu
menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok
intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini
menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang
diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan
kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial
ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh
agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa
kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata
masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis,
sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai
sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan
kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan
dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur
yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan
kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi
masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling
rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang
Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap
dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial
yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi
terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad
XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat
sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan
faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan
ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan
suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan
perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi
di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk
sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan
aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing
maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan
ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk
masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang
besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan
pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan
yang semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus
bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di
pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat
dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal,
regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya
persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah
ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial,
kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi
pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah
desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda
terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang
difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang
dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat
dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga
pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan
tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit
penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk
pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya,
kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok
Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap
pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke
pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang
mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada
dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap
sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan
sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat
pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi
secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan
profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan
ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan
kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya
terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi
kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam
sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di
Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan
salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide
baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa
sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas
Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur
primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun
tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai
organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai
beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro
perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai
oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara
yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun
budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan
kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam
masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal
dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada
sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi
kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada
dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika
dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah
Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat,
dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh
otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak
dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang
menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir
hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu,
pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering
muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan
pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul
ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam
melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin
Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin
Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik,
yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan
perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha
memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka
pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan
Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan
wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang
ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah
Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di
seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi
sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu
berkembang menjadi besar dan kuat.
sumber
Label:
Ilmu Islam
Tugas Siti Nomer 4-5
1.
4. TALFIQ (memilih & memilah hasil ijtihad
hukum) dapat digunakan dlm kondisi tertentu sebagaimana ihtisab dlm ushul fiqih
dpt difahami . bagaimana secara operasional keduanya dpt diterapkan bandingkan
dengan pendapat imam syafii barang siapa berihtisab berarti ia membuat syariat.
Soal :
2. A.
Sebutkn perbedaan metodologi penetapan hukum masing2 lembaga : MUI,
MUHAMMDIYAH, NU & PERSIS..
J JAWAB :
PERBEDAAN :
Pertama, karakteristik menyangkut metode
penetapan hukum. Terkait dengan hal ini ada yang tetap
namun juga ada yang berubah.
Muhammadiyah bisadikatakan sebagai organisasi yang paling konsisten dalam hal
prosedur pengambilanfatwa, yaitu merujuk langsung kepada dalil-dalil al-Quran
dan hadis denganmenggunakan metode tertentu dalam ushul fikih dan beberapa
kaidah fiqhiyah.Metode seperti itu tetap dipertahankan hingga sekarang.
Sedangkan NU dan MUImengalami perubahan-perubahan. NU dalam waktu yang lama
sangat setia denganpendapat-pendapat ulama fikih dalam kutub
al-mu’tabarah,sehingga putusan-putusanhukumnya berisi kutipan-kutipan ‘ibarah
kitab fikih. Namun, sejak tahun 2004
dalamdokumen putusan hukum NU mulai dilengkapi dengan kutipan dari ayat
al-Quran danhadis meskipun masih dalam
kerangka pemahaman ulama abad pertengahan. Dengandemikian, kutipan ayat
al-Quran dan hadis dalam bahs al-masâil NU tidak bisadianggap NU ber-istinbath langsung
dari keduanya. Demikian halnya dengan MUI.Pada awal-awal berdiri, logika hukum
yang digunakan MUI lebih dekat dengan tradisiMuhammadiyah. Putusan-putusan
hukum MUI berisi kutipan-kutipan dari al-Qurandan hadis. Namun hal ini mulai
terjadi perubahan pada tahun 2000-an. Mulaibanyaknya tokoh-tokoh NU yang masuk
ke MUI turut mempengaruhi modelpenetapan hukumnya. Karenanya, sekarang ini
putusan hukum MUI dalam haltertentu juga dilengkapi dengan pendapat-pendapat
ulama abad pertengahan yangmenjadi tradisi NU.
Kedua, karakteristik yang berkaitan
dengan pendapat hukum yang dikeluarkan.Terkait dengan persoalan yang
dikategorikan sebagai muamalat murni, ketigalembaga fatwa cenderung terbuka dan
toleran. Namun terkait dengan persoalan yangdikategorikan sebagai
ritual-akidah-teologis wataknya cenderung eksklusif. Watak eksklusif
secara teologis tercermin dalam putusan-putusan hukum mereka. Cara pandang terhadap agama lain masih diwarnai
sebagai ancaman yang harusdiwaspadai. Terutama dalam masalah-masalah
yang masuk kategori akidah danmelindungi kemurnian Islam, fatwa-fatwa ketiga
organisasi ini bisa dikatakan samadan tidak mengalami perubahan signifikan,
yaitu cenderung defensif dan eksklusif.Persoalan ini tidak bisa semata-mata
dilihat dari wacana hukum Islam denganmenguji metode yang digunakan, tapi
memang ada persepsi sebagian besar umatIslam tentang agama lain, terutama
Kristen, sebagai ancaman. Akibatnya, melaluifatwa-fatwa yang dikeluarkan umat
Islam diminta untuk mewaspadai berbagai upayapihak lain yang bisa melemahkan
Islam, baik dari sisi akidah maupun politik. Karenaitu, fatwa-fatwa terkait
hubungan antaragama sering dilihat sebagai upaya untuk melindungi umat
Islam dari kerusakan. Dalam memandang hubungan antaragama,lembaga-lembaga fatwa
lebih mengedepankan melihat ke dalam (in world looking)
ketimbang
ke luar. Fatwa mengenai pengharaman Natal Bersama, PengangkatanAnak dan
rekomendasi mengenai Pendayagunaan Tanah Warisan dan PendidikanAgama misalnya,
semuanya dilandasi satu prasangka bahwa praktek-praktek tersebutmemiliki motif
Kristenisasi atau minimal pendangkalan akidah. Fatwa danrekomendasi di
keluarkan guna membentengi, mencegah atau mengurangi efek daripraktek-prektek
yang merugikan umat Islam tersebut.
Sumber Buku : Alwi Shihab,Membendung Arus, Respons Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung:Mizan 1998).
Sedang Persis
merupakan penganut Mazhab Hisab yang diprakarsai oleh Muhammadiyah, namun
ternyata menghasilkan ketetapan yang berbeda. Misalnya metode yang digunakan
Persis serta dalil hukumnya dalam penetapan awal bulan Qomariyah. Persis
menggunakan metode content analysis (analisis isi) dengan pendekatan deskriptif
kualitatif.
[ http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-sudarmono2-4002]
S Soal :
Klik Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Klik Sejarah Berdirinya NU
Klik Sejarah Berdirinya PERSIS
MUI Jika diperlukan
Label:
Ilmu Islam
Tugas Siti Nomer 1-3
MASAILUL FIQIH
1. 1.
Pendapat ulama, menetapkan suatu hukum, para
ulama sering berkesimpulan berbeda.
A.
Apa yang melatarbelakangi perbedaan formulasi
hukum yang dihasilkan para ulama sebutkan !
JAWAB :
a. Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
b. Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
c. Adanya perbedaan dalam penetapan maslahah
d. Adanya perbedaan pemahaman terhadap nash-nash dhanniy
e. Adanya perbedaan dalam penggunaan hujjah-hujjah syar’i
f. Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
g. Adanya perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah
h. Adanya perbedaan menyikapi pendapat ulama-ulama
terdahulu.
Sumber : Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, Kediri:
Lirboyo, 2003
Arma21.blogspot.com
B.
Bagaimana pendapat kita tentang seorang laki2
muslim dihalalkan jika menikahi perempuan ahli kitab dan sebaliknya jika wanita
muslimah dinikahi oleh laki2 ahli kitab hukumnya haram..
JAWAB :
Seorang laki2 muslim dihalalkan menikahi wanita non muslim selama
wanita itu taat kpd suami dan tdk merusak agama suaminya dan slalu bisa menjaga
kehormatannya namun demikian nikahnya hrs sesuai dgn aturan islam jika
mempunyai anak dianjurkan anaknya mengikuti suaminya [QS. Al Maidah: 5],
sebaliknya wanita muslim dinikhi pria non muslim hukumnya haram karena pria
akan menjadi pemimpin bagi
istrinya. [http://muslim.or.id/aqidah/nikah-beda-agama.html]
2. 2.
Apa yang anda ketahui : Fiqih kerakyatan, fiqih
sosial, fiqih perusahaan, dan fiqih kontemporer..
JAWAB
:
Fiqih Kerakyatan : pemahaman dalam
pengambilan hukum2 islam yg trejadi di
masyarakat dengan melibatkan pendapat rakyat selain para ulama.[ http://id.wikipedia.org/wiki/Fikih],
[http://id.wikipedia.org/wiki/Kerakyatan
Fiqih Sosial :
fiqh yang berdimensi sosial atau yang dibangun atas dasar hubungan antar individu
atau kelompok didalam masyarakat.[ Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih
Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997],
http://melbayawy.wordpress.com/2011/11/17/makalah-fiqih-sosial/
Fiqih Perusahaan : Fiqh yg pembahasannya dlm
mencari hukum2 bisnis dan perusahaan baik bank maupun bisnis2 yg lain.
Fiqih Kontemporer : fiqih yg pembahasannya
mencari hukum2 tentang permasalaha di
jaman modern yg terjadi seperti tentang teknologi dan permasalahannya hukum
syariat islam.[
http://www.subkialbughury.com/2011/10/metodologi-pemahaman-fiqih-kontemporer/]
33.
Perbedaan metode ijtihad dgn metode istimbat dan
bagaimana langkah2 dari masing2 metode, apa saja syarat menjadi mujtahid..?
JAWAB :
Perbedaannya : metode ijtihad lebih ke nash
alquran, hadits dan sunnah namun kalau metode istinbat mengarah kepada kaidah2
kebahasaan dan qiyas yg menjadi rujukannya.
Langkah2:
Metode ijtihad :
Mencari
sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, jika tidak menemukan maka harus
mempergunakan dalil2 seperti Nash-nash Al-Quran, Hadits Mutawattir, Hadits Ahad,
Zhahir Al-Quran, Zhahir Hadits, Dalil Mafhum, Mafhum Al-Quran, Mafhum
Hadits, Perbuatan dan Taqrir Nabi, Qiyas,
Bara’ah Ashaliyah Kalau ia menghadapi
dalil-dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh beberapa alternatif berikut:
a.
Memadukan/mengkompromikan
dalil-dalil tersebut
b. Mentarjihkan (menguatkan
salah satunya)
c.
Menashkan; yaitu dicari mana yang lebih
dulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak
berlaku lagi)
d. Tawaqquf, yakni
membiarkan atau tidak menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
e.
Menggunakan
dalil yang lebih rendah tingkatannya
[SaSumber : Saiban
Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum
Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
[htthttp://marwajunia.blogspot.com/2012/02/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imam-empat.html]
Metode istinbat :
a.
Pendekatan
Melalui Kaidah-Kaidah Kebahasaan [ijtihad bayani]
b.
Pendekatan melalui qiyas [ijtihad qiyasi]
c.
Pendekatan
Melalui Metode Mashlahah Mursalah [Ijtihad Istishlahi]
Syarat menjadi mujtahid :
a.
Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an baik menurut
bahasa maupun syariah
b.
Mengetahui
dan menguasai hadits-hadits tentang hukum, baik menutur bahasa maupun syariah
c.
Mengetahui
Nasikh dan Mansuh dalam Al Qur’an dan Sunnah
d.
Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama
e.
Mengetahui
qiyas dan berbagai persyaratannya
f.
Mengetahui
Bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
berbagai problematikanya
g. Mengetahui
ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad
h.
Mengetahui
maqashidu al-syari’ah (tujuan syariat) secara umum
[http://muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.com/2013/03/makalah-ushul-fikih-metode-ijtihad_1233.html]
Dede Rohayana , Ade. 2005 . Ilmu
Ushul Fiqih . Pekalongan : STAIN Press
Lanjut....
Label:
Ilmu Islam
Langganan:
Postingan (Atom)