Sejarah Berdirinya Persatuan Islam (PERSIS)
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di
Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru
dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas
tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan
(kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang
berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik,
rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh
penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi”
Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual,
mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuan
Islam.
Lahirnya
Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan
agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H.
Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah,
berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok
tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan
karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar
1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang
diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan
maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan
sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan
kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam,
persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103
: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham
Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas
diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh,
khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah
(pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai
aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya
syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren
Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian
berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal
(Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan
berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela
Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935),
majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran
Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber),
serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain
pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan
pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas
inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang
Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta
masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah
pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir
yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda,
dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan
pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi
Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak
sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang.
Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai
melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang
telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun
1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua
diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis
(1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin
Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik
yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai
tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden
Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan
ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary,
kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang
dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun
persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang
menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul
Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar,
MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan
proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi
otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan
yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan
isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini
Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif
dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan
umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan
Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit,
tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh
umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian
pemikiran keislaman.
Sumber : persis.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar